Terdakwa obstruction of justice perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, Arif Rachman Arifin, mengaku, tidak mudah untuk menerima perintah atasan seperti Ferdy Sambo. Hal itu disampaikan dalam nota pembelaan atau pledoinya atas kasus tersebut.
Arif mengatakan, dirinya merasa empati kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi yang menangis sedih. Ada perasaan empati besar yang timbul dalam hatinya.
“Sungguh tidak semudah membaca kalimat dalam peraturan tentang menolak perintah atasan,” kata Arif di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (3/2).
Ia menyebut, dalam Polri ada budaya yang mengakar dalam rantai komando. Hubungan berjenjang yang biasa disebut sebagai relasi kuasa itu bukanlah sekedar ungkapan saja. Namun, suatu pola hubungan yang nyata dalam memberikan batasan-batasan tegas antara atasan dan bawahan.
Berpangkat kembang dua dalam pundaknya, masyarakat menuding dirinya dapat menolak perintah tersebut. Padahal, jarak pangkat keduanya melebihi dugaan masyarakat.
Itulah sebabnya, budaya organisasi tersebut sangat berdampak hingga sangat rentan terjadi penyalahgunaan keadaan karena ada relasi kuasa. Sementara, predikat Arif Rachman tetap hanyalah bawahan di bawah kendali atasannya.
“Kondisi rentan penyalahgunaan keadaan ini mungkin tidak bisa dengan mudah dipahami semua orang,” ujarnya.
Menurutnya, dalam situasi itu ia tidak merasa janggal dengan kondisi Sambo dan Putri karena seperti terpukul oleh kejadian yang menimpa istri Sambo. Saat itu, dia juga melihat emosi FS yang tidak stabil dan rentan. Di mana ada perubahan kepribadian serta menjadi kerap mengucapkan kata makian, sikap kasar dan ancaman dalam perkataan FS yang menciptakan keadaan yang tegang dan genting.
“Keadaan demikian yang muncul dalam setiap kontemplasi saya. Antara logika, nurani, dan rasa takut dalam diri saya bercampur,” ucap Arif.
Sebelumnya, terdakwa kasus perintangan penyidikan pembunuhan Yosua Hutabarat (Brigadir J), Arif Rachman Arifin, dituntut 1 tahun penjara. Tuntutan disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (27/1).
Jaksa juga menuntut Arif membayar denda Rp10 juta. Terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya.
"Mengharapkan agar hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Arif Rachman Arifin dengan pidana penjara selama 1 tahun," kata jaksa saat membacakan tuntutan.
Hal yang memberatkan terdakwa dalam kasus ini adalah meminta saksi Baiquni menghapus file rekaman yang menunjukkan Brigadir J masih hidup. Kedua, mengetahui bahwa bukti sistem elektronik terkait terbunuhnya Brigadir J berguna untuk mengungkap tabir kasus.
"Ketiga, terdakwa telah melanggar prosedur pengamanan bukti sistem elektronik terkait kejahatan tindak pidana, di mana di dalam perbuatan tersebut tidak didukung surat perintah yang sah," tutur jaksa.
Sementara itu, hal-hal yang meringankan Arif adalah berterus terang dan menyesali perbuatannya. Lalu, masih muda dan diharapkan dapat memperbaiki dirinya.
Dalam perkara ini, Arif dinilai melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.